Nasib perajin tikar dari daun pandan, atau samak pandan kini kian merana. Perajin ini kalah bersaing dengan tikar-tikar yang dibuat dari bahan plastik atau karpet. Tapi, mereka terus berjuang mempertahankan usaha itu, karena merupakan satu-satunya pekerjaaan yang mampu menafkahi keluarga.
Pak Samiran, asal Desa Meri, Mojokerto (71 tahun) duduk membelakangi gulungan tikar pandan berbagai ukuran yang terpajang didepan tokonya. Sebetulnya bukanlah toko modern pada umumnya, tapi bangunan semi permanen yang tepatnya disebut lapak, berdiri memakan trotoar, di Jalan Achmad Dahlan, Mojokerto kota. Pak Samiran sudah berjualan tikar pandan ini semenjak tahun 1963.
Hasil penjualan tikar pandan itu berbeda jauh bila dibandingkan dengan jaman dulu. Sekarang, Pak Samiran cukup menerima kenyataan tikar itu terbeli hanya 1-2 biji perhari. Terkadang malah tidak ada penjualan sama sekali dalam hari-hari tertentu.
Pada pagi sampai sore hari, hanya dijumpai 2 lapak saja yang menjual tikar pandan tersebut. Jika malam tiba, Pak Samiran pulang ke rumahnya. Lantas, apakah Jl. Achmad Dahlan tersebut sepi dari dunia tikar pandan ?. Ternyata tidak. Ada penjual tikar pandan lagi selain Pak Samiran yang biasanya menggelar barang dagangannya di depan toko, tepatnya Jl. Achmad Dahlan no. 18. Penjual tikar pandan tersebut berasal dari Desa Simongagrok, Kecamatan Kemlagi yang rela berhari-hari sampai seminggu menunggu tikar pandannya terjual habis. Jika pagi-sore, penjual itu akan berkeliling kota Mojokerto untuk menjajakan tikarnya sambil naik sepeda ontel tua.
Mungkin, jenis kerajinan tikar pandan ini hampir lepas dari ingatan kita, tetapi mereka para perajin itu ternyata masih gigih mempertahankan seni anyam daun pandan. Semoga mereka tetap bertahan dan mampu mendongkrak pendapatannya.
Oleh Hendra W Saputro